Tulisan pragmentatif ini bukan merupakan keluhan, tetapi lebih tepat merupakan ekspresi diri yang mungkin dapat bermanfaat bagi
pembaca. Persis enam bulan yang lalu, saya
secara resmi diundang ke suatu jamuan makan malam yang bergengsi, yang hanya
dilakukan dalam siklus empat atau lima tahun. Sungguh merupakan kehormatan
untuk bisa duduk satu meja dengan tuan rumah. Sayapun begitu yakin pasti ada
alasan yang begitu kuat dari tuan rumah untuk mengundangku. Begitu banyak orang
menanti dan berusaha untuk masuk ke dalam daftar yang diundang, meskipun
semua orang tahu kalau pembicaraan dalam jamuan tersebut sangat membutuhkan pengalaman dan
pengetahuan. Jelas merupakan kecanggungan yang luar biasa jika tidak memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang luas kalau ingin menikmati suasana jamuan tersebut. Saat
menerima undangan, saya sudah memberi tahu tuan rumah bahwa kira-kira lima
belas menit jamuan dimulai, saya harus permisi meninggalkan jamuan sesaat untuk melakukan
panggilan yang sudah terjadwal lama, paling lama sepuluh menit. Tuan rumah memaklumi dan
mengatakan tidak ada masalah, karena hanya sebentar. Singkat kata, undangan
tersebut saya terima karena menghargai tuan rumah, dan saya merasa sangat
berpengalaman dan berpengetahuan tentang topik yang akan dibicarakan di meja
makan tersebut.
Sesuai izin dan maklum tuan rumah, saya memang meninggalkan meja makan, tepat lima belas menit setelah jamuan dimulai. Kepada semua undangan yang ada di meja kami, saya minta izin sebentar. Sambil menelpon saya masih dapat meihat apa yang terjadi di meja jamuan tersebut. Tepat tujuh menit setelah itu, saya masuk kembali ke ruangan dimana jamuan berlangsung. Betapa kagetnya ketika saya masuk. Belum sempat duduk kembali di kursi, saya melihat tuan rumah kebingungan dan ketika saya tanyakan apa yang terjadi, beliau hanya menunduk lesu sambil berkata, “ternyata keputusan saya mengundang anda dalam jamuan ini sungguh membuat orang banyak bertanya karena anda sudah ikut jamuan ini 10 tahun yang lalu, dan lima tahun yang lalu”. “ Hal itulah yang membuat saya susah untuk memberikan justifikasi etika atas kehadiran anda”. Tuan rumah melanjutkan, “saya sangat membutuhkan anda dalam diskusi ini”.
Melihat tuan rumah dalam posisi yang sulit, saya
langsung menyimpulkan bahwa saya harus keluar dari jamuan ini, demi kenyamanan
tuan rumah dalam memimpin jalannya diskusi dan menjaga suasana jamuan makan
malam yang istimewa ini. “Bos, “, kata saya, “ Jangan ragu untuk mengatakan
itu. Itu akan lebih baik untuk kita semua”. Tuan rumah tanpa kaget akan
penerimaan saya atas situasi yang dihadapinya.
Lalu saya sampaikan “Saya berterima sudah diundang, dan bagi saya itu adalah suatu
kehormatan dan pengakuan atas pengalaman dan pengetahuan saya. Saya juga sudah memenuhi undangan ini sebagai
bentuk komitmen persahabatan, persaudaraan dan kemanuisiaan”. Lalu saya sampaikan kepada peserta jamuan
ucapan terima kasih atas kebersamaan yang sangat singkat ini. Satu per satu
mereka saya salami. Semuanya tak mampu berbicara, seperti tak menduga kalau hal
ini akan berlangsung begitu mudah. Sambil meninggalkan ruangan menuju halaman
rumah yang cukup bergengsi untuk kebanyakan orang, antara kaget dan perasaan
ditolak, bercampur rasa senang untuk tidak terlibat dalam diskusi seperti itu,
saya masih sempat menyalami panitia jamuan bahkan dengan petugas catering dan keamanan.
Tampak dari ekspresi mereka seolah bertanya-tanya mengapa saya meninggalkan
jamuan, padahal begiu banyak orang menginginkan hadir dalam jamuan itu. Saya lalu ingat status seorang teman “ I am
the master of my fate, and I am the captain of my soul”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar