Gelar memang
merupakan suatu atribut tersendiiri bagi seseorang untuk mudah dikenal orang lain,
meski dalam suatu komunitas yang kecil.
Saling memberi gelar atau julukan sesama kawan, atau dalam anggota
keluarga justru merupakan ekspresi kekeluargaan dan kedekatan dalam
persahabatan. Gelar juga dapat diberikan
oleh komunitas atau lembaga formal lainnya, termasuk gelar yang diberikan oleh
adat dan lembaga pendidikan formal. Beberapa hal yang ironis justru berkembang di masyarakat kita. tentu saja hal ini dalam jangka panjang berakibat fatal bagi masyarakat kita sendiri.
Gelar adat
Dalam sepuluh
tahun terakhir ini yang marak terjadi adalah pemberian gelar adat yang terjadi
di banyak daerah di Indonesia. Sering
kita membaca di koran-koran lokal, bagaimana prosesi pemberian gelar adat kepada
Kepala Daerah dalam suatu upacara adat. Gelar Raja atau bangsawan juga
diberikan kepada anggota Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (yang dulu disebut
dengan unsur Muspida). Bahkan istri Kepala Daerah juga diberi Gelar sesuai
dengan adat istiadat setempat. Pernah
juga terjadi bahwa gelar adat juga diberikan kepada tamu (biasanya Kepala Daerah
lain) yang berkunjung ke suatu daerah.
Entah apa yang terlintas dibenak para Kepala Daerah ini. Jangan-jangan memang Kepala Daerah sendiri yang merekayasa Badan Musyawarah Adat setempat (yang tentu saja dalam kendalinya) untuk memberikan gelar adat kepada dirinya. Bermacam-macam gelar yang muncul, tetapi pada umumnya mencerminkan kegagahan, ketangguhan, kebijakan, keadilan, dan semangat luhur lainnya. Pemberian gelar Raja atau Bangsawan yang dilakukan oleh Badan Musyawarah Adat kepada Kepala Dearah atau pihak lainnya memang punya implikasi tersendiri dalam tatanan bernegara ini. Mungkin dengan dianugerahkannya gelar oleh adat, sang Kepala Daerah akan menjadi semakin percaya diri dan semakin hebat dalam menjalankan tugasnya sebagai Kepala Daerah. Mungkin saja seremoni seperti itu merupakan upaya mendongkrak rasa percaya diri Kepala Daerah, terutama bagi Kepala Daerah yang membeli amanah untuk menjadi Kepala Daerah. Disisi lain, pemberian gelar ini, kadang dengan menggunakan istilah raja, justru akan membangkitkan kembali sentimental kesukuan di masyarakat kita yang akan mengikis rasa ke-Indonesia-an yang masih perlu ditingkatkan.
Gelar akademik
Masyarakat
kita juga sangat gila dengan gelar akademik, gelar sarjana, gelar master, atau
gelar doktor. Lebih konyol lagi banyak masyarakat kita menempuh jalan pintas
dengan membeli gelar akademik ke lembaga-lembaga liar yang tidak
bertanggungjawab sama sekali. Semua jenjang gelar, mulai dari jenjang sarjana,
magister dan doktor diperoleh dalam satu wisuda yang bersamaan tanpa harus
menempuh perkuliahan. Memang konyol dan menggelikan. Pulang ke Kampung dengan sederetan
gelar ditambah dengan gelar adat yang sudah diberikan Badan Musyawarah Adat..
Jauh lebih menyedihkan
ada perguruan tinggi di tanah air yang justru secara terselubung mengobral
gelar kepada masyarakat di sekitarnya melalui program yang resmi. Tetapi
penyelenggaraannya jauh dari standar akademik dan apalagi upaya membangun
kecendikiaan bangsa ini. Semua proses akademik menjadi formalitas. Lulusan
sarjana dan magister melimpah ke masyarakat. Ijazahnya asli, tetapi penyandang
gelarnya tidak berkualitas dan kemampuannya jauh di bawah harapan. IPM Kota
atau Kabupaten meningkat, dan dibanggakan. Tetapi, sangat menyedihkan,
peningkatan IPM tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas dan jumlah orang
miskin tetap saja. Perguruan tinggi kita semestinya mampu mengembangkan budaya
belajar masyarakat, bukannya meluluskan mahasiswanya dengan kualitas asalan. Perguruan tinggi juga bukannya mengikuti
kegilaan dan pragmatisme masyarakat dalam memperoleh gelar akademik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar