Fenomena lain
yang sering terjadi dalam masyarakat kita terkait jual beli amanah sejak masa
reformasi ini adalah dalam kegiatan penerimaan calon pegawai negeri sipil dan
promosi jabatan yang terjadi di banyak kabupaten dan propinsi di
Indonesia. Seperti halnya dengan korupsi,
modus yang terjadi tidak ubahnya seperti kentut yang berbau, bentuknya tidak
dapat dilihat, tapi baunya mengganggu orang di sekitarnya. Kalau tidak ada
orang yang mengaku melakukannya, atau mendengar langsung secara dekat suara letupannya, maka akan sangat sulit untuk mengetahui siapa pelakunya. Entah apa yang terlintas dalam benak banyak masyarakat
kita. Menjadi abdi masyarakat kok harus
dan mau membayar. Memiliki tanggungjawab lebih besar dalam pekerjaan di kantor, kok
harus dan mau membayar.
Yang terjadi saat ini justru sudah jauh lebih parah
dari sekedar jual beli. Lalu munculah pihak ketiga, yang mengaku sebagai
penghubung, yang sebenarnya mungkin saja seorang penghubung yang sesungguhnya,
tetapi juga dapat saja merupakan sebagai calo atau orang yang mengaku-ngaku
dapat membantu para calan pegawai yang sedang galau, atau pada para pegawai
yang syahwatnya untuk promosi atau berkuasa sedang birahi. Kehadiran para penghubung atau para calo ini
memanfaaatkan kegalauan dan ketidakpercayaan calon pegawai pada sistem
rekruimen yang ada. Para calo ini juga
memanfaatkan ketidaksabaran dan kekurangpercayaan diri para pegawai untuk
promosi jabatan.
Semua pihak
yang terlibat dalam fenomena ini semestinya menyadari dan tidak melakukannya
lagi, karena semua transaksi jual beli amanah tadi pada akhirnya akan dibayar
oleh masyarakat banyak. Masyarakat akan
mendapatkan pelanyana nyang seadanya, dan bahkan tidak mungkin masyarakat akan
kehilangan hak-hak untuk menikmati pembangunannya karena pembiyaannya sudah
digunakan untuk membayar transaksi amanah yang dilakukan sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar