Kembali
Indonesia dihadapi pada mahalnya harga bawang merah dan bawang putih. Lagi-lagi
dikaitkan dengan impor. Data dari Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa nilai
impor bawang putih segar Indonesia pada tahun 2011 saaja mencapai USD 272,6
juta, lalu diikuti dengan bawang merah segar senilai USD 75,5 juta, dan bawang
Bombay segar sebesar USD 32,1 juta. Kecenderungan
Indonesia untuk mengimpor banyak komoditas pertanian sebenarnya tidak terkait
pada kemampuan petani untuk menghasilkannya. Secara teknologi petani Indonesia
sangat menguasai bagaimana memproduksi bawang, jagung, kedele, padi, cabe,
pisang. Dan bahkana secara agroekologis
produksi tanaman tersebut sangat mungkin untuk dilakukan. Kalau tanaman yang memang secara agroekologis
tidak mungkin atau sulit tumbuh di Indonesia masih diimpor, hal itu sangat
dapat dimaklumi. Tetapi mengimpor
beberapa jenis tanaman pangan dan hortikultura yang disebutkan tadi, pasti
bukan disebabkan oleh alasan agroekologis, ataupun oleh alasan ketidakmampuan
petani dalam menghasilkan komoditas
tersebut. Penyebabnya adalah kesalahan
manajemen atau kebijakan impor produk-produk tersebut, dan ketidakseriusan
pemerintah dalam menciptakan rantai agribisnis komoditas tersebut.
Kebijakan
impor dengan penetapan kuota impor sudah ada, tetapi jumlah impor
komoditas tersebut jauh di atas kuota
yang telah ditetapkan. Padahal penetapan kuota impor salah satunya merupakan
kebijakan untuk menjaga penyerapan pasar terhadap produk dalam negeri, sehingga
petani tetap bergairah untuk memproduksi komoditas-komoditas tersebut. Pengawasan terhadap pemberian izin impro lalu
lintas produk impor pasti sangat lemah. Terlalu banyak alasan yang dikemukakan
untuk mencari pembenaran pada ketidakmampuan menekan lalu lintas penyelundupan.
Sisi lain
tidak mampunyai komoditas lokal untuk bersaing dengan produk impor juga
disebabkan karena kurangnya kebijakan pertanian yang konsisten berpihak pada
pemberdayaaan petani. Secara konsep sudah banyak didengungkan dan disampaikan
oleh penmerintah atau perguruan tinggi, tetapi konsep hanya tinggal konsep,
tidak pernah menacapai sukses yang berkelanjutan. Program-program yang bersifat
pencitraan hanya dapat memberikan manfaat sesaat. Contoh jelas adalah bagaimana
provinsi Gorontalo hanya menjadi produsen dan eksportir jagung selama tiga atau
empat tahun, lalu hilang tak berkelanjutan, karena programnya hanya bersifat
pencitraan. Petani juga tidak berdaya
berurusan dengan kencenderungan masyarakat yang secara konsisten bersikap
koruptif.
Impor
komoditas pertanian yang secara agroekologis cocok untuk ditumbuhkembangkan di
Indonesia semestinya tidak terjadi, jika kebijakan impor diimplementasikan
dengan baik, keberpihakan pemerintah kepada petani terjamin dan berkelanjutan,
dan mentalitas koruptif tidak berkembang di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar