Sering kita melihat
di jalanan, bagaimana orang tua dengan tenangnya melanggar lampu lalu lintas
saat membawa anaknya berkendaraan. Pengendara sepeda motor lebih banyak
melakukannya dibanding pengendara kendaraan roda empat. Dalam kesempatan lain,
kita sering juga melihat bagai mana orang tua dengan enaknya menghardik dan
memarahi sesuatu secara berlebihan di depan anak-anaknya ketika tidak puas atau
merasa dilecehkan orang lain. Pernah kita mendengar bagaimana orang tua
mendorong agar anaknya merasa berprestasi dengan cara ikut merekayasa prestasi
tersebut dengan sepengetahuan anaknya. Masih banyak lagi kekeliruan yang
dilakukan orang tua di hadapan anak-anaknya, dan lebih celaka lagi banyak yang
memang secara sengaja dilakukan tanpa ada perasaan malu.
Sering juga
kita melihat bagaimana guru-guru di sekolah dasar berbaris menunggui
murid-muridnya datang di halaman sekolah. Ironisnya mereka menyalami
murid-muridnya sambil ngobrol, sambil baca koran pagi, sambil sms-an, sambil
menelpon tanpa melihat apalagi menatap mata murid-muridnya. Bersalaman menjadi
rutinitas, tanpa makna. Murid-murid juga tahu kalau hal tersebut merupakan
sesuatu yang harus dilewati agar sampai ke ruangan kelas.
Sering juga
kita mendengar bagaimana siswa-siswa diminta untuk mengsukseskan ujian
nasional. Siswa harus sukses, hanya karena karena ujian nasional harus sukses,
kepala daerah harus sukses, kepala dinas harus sukses, kepala sekolah harus
sukses, guru bidang studi harus sukses.
Siswa diminta untuk mengikuti arahan dari guru dengan berbagai upaya,
non akademis tentunya, agar tingkat kelulusan tinggi. Sering juga kita mendengar bahwa anilai
kelulusan ujian nasional adalah nilai
yanga sudah dinormalkan, didongkrak agar standar kelulusan tercapai.
Menyedihkan memang. Bukannya fokus pada
upaya memperbaiki proses pendidikan agar murid-muridnya mampu lulus ujian
dengan baik, tetapi berlomba-lomba mendorong agar hasil ujian nasional
‘berhasil’ dan ‘sukses’, sehingga semuanya
happy.
Hal tersebut
di atas hanya beberapa contoh ssuasana dimana anak-anak sejak kecil sudah
diajarkan untuk mensiasati aturan (dengan menerobos lampu merah), diajarkan
untuk tidak bersabar dan tidak mencoba memahami orang lain (dengan marah-marah
tak terkendali), diajarkan bagaimana meraih prestasi dengan nepotisme. Sekolah sebagai lembaga yanag berperan dalam
pembentukan karakter dasar anak-anak juga memberikan pelajaran tentang lakukan
rutinitas (dengan salaman tanpa ada kontak mata dan tegur sapa). Sekolah juga
mengajarkan tentang ketidakjujuran dan meriah sukses dengan instan tanpa usaha (melalui
rekayasa ssukse unjian nasional).
Mungkin masih
banyak lagi contoh yang benar-benar terjadi dalam masyarakat kita. Tidak heran
jika anak-anak yang melewati model tempaan seperti itu akan tumbuh menjadi
remaja yang tidak taat hukum dan aturan, tidak menghargai orang lain, tidak
berempati, dan tidak jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar