Pepatah lama, ‘pengalaman
merupakan guru yang terbaik’, sangat dipahami oleh banyak orang. Betapa banyak
kekeliruan yang dilakukan oleh seorang individu atau oleh satu perusahaan justru
meningkatkan produktivitas kerjanya. Belajar
dari pengalaman pahit yang dialami sendiri memang bijak, tetapi sesungguhnya
kita juga dapat belajar dari pengalaman pahit yang dialami oleh orang lain atau
oleh perusahaan lain. Tidak ada pelanggaran etika yang kita lakukan jika kita mengambil
pelajaran dari pengalaman pahit yang dialami pihak lain, karena sesungguhnya
itu adalah mekanisme alam dalam menyediakan pelajaran bagi orang-orang yang mau
memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya.
Jumat, 28 September 2012
Sabtu, 22 September 2012
Menyikapi Keterlantaran
Tidak semua yang kita rencanakan selalu berjalan
seperti yang kita harapkan. Ada batasan dimana kita dapat memprediksi
kehampirpastian jadwal dan rencana dapat berjalan dengan baik. Mengikuti jalan
pikiran orang yang merasa superior, ciri orang yang tidak professional dan ciri
seorang pecundang tentunya, memang melelahkan. Terpikir untuk memuntahkan semua
kekesalan dengan menunjukkan betapa superioritas yang mereka tunjukkan sangat merugikan orang
lain. Superioritas yang hanya sebenarnya merendahkan diri mereka sendiri,
meskipun kita yang harus merasakan ketidaknyamannya. Salah satu superioritas yang dapat terjadi
kepada kita semua adalah perubahan jadwal yang seenaknya oleh mitra kita,
padahal kita sudah mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga untk mengikuti
pertemuan yang dijadwalkan. Mitra kita sangat tahu, jika sikap tidak
menghargai mitra pasti punya konsekwensi, salah satunya kehilangan kepercayaan,
yang bahkan dapat menyebabkan hilangnya kemitraan itu sendiri. Tulisan ini tidak bermaksud untuk
mendiskusikan apa yang dapat kita lakukan terhadap superioritas yang ditunjukkan oleh mitra kita,
tetapi bagaimana mensiasati perasaan kesal dan kecewa supaya tidak menjadi
kontra produktif terhadap kinerja kita sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)