Pemilihan anggota legistlatif Indonesia baru sudah selesai.
Terlepas dari duka mendalam dari para calon anggota legislatif yang gagal
mewujudkan impian dan seleranya, justru media massa disibukkan dengan upaya
membentuk opini sosok Calon Presiden RI mendatang. Dan bahkan lebih
menggelikan, media massa menggiring, seolah-olah yang perlu dicari sekarang
adalah siapa Cawapres yang cocok. Bahkan
pembentukan opini juga dilakukan dengan mengkaitkan ramalan dari zaman
Majapahit atau Zaman Mataram. Pembodohan superstisius seperti ini justru
dilakukan oleh orang-orang yang mengaku berpendidikan dan sangat rasional dalam
memahami persoalan kebangsaan. Menyedihkan, memprediksi sosok pemimpin Negara dilakukan
dengan menggunakan ramalan-ramalan tersebut.
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia secara makro mengalami
peningkatan, tetapi yang menikmati pertumbuhan tersebut tidak merata. Bahkan
lebih mungkin lagi, pertumbuhan ekonomi yang dicapai tersebut, terjadi bukan
karena intervensi dan kebijakan pemerintah, tetapi karena keberuntungan
Indonesia dalam percaturan global. Artinya pertumbuhan itu terjadi sebagai
akibat konsekuensi global saja. Lebih cocok lagi, an autopilot growth !. Setelah lebih dari 65 tahun Indonesia
merdeka, kepincangan secara ekonomis dan dan sosial antar wilayah masih sangat
terasa. Pemerintah lebih suka mempermainkan data-data yang bersifat rerata
Indonesia yang kontribusi angka tersebut berasal dari segelintir orang
dari kawasan tertentu saja.
Yang terjadi sekarang, pemerintah lebih memperhatikan
pembangunan di pulau Jawa. Lihat saja berapa banyak anggaran yang digelontorkan
pemerintah untuk pulau Jawa dibanding total anggaran pembangunan Indonesia per
tahun. Alokasi anggaran berbasiskan jumlah
penduduk ini terbukti tidak mampu mensejajarkan tingkat kesejahteraan dan
kehidupan seleuruh masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, akibat dari kebijakan
berbasiskan data rerata tadi adalah semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dan sosial
di kalangan penduduk. Lihat saja berapa banyak peredaran uang Indonesia
di Jakarta, atau tepatnya di Jawa, bila
dibandingkan dengan total uang yang beredar di Indonesia. Yang terjadi sekarang, semua masyarakat Indonesia
harus bahu membahu memajukan perekonomian pulau Jawa. Semua infra struktur
ekonomi yang ada, misalkan jalan, penerbangan, telekomunikasi, dan bahkan
pendidikan, diarahkan untuk mendukung dan memajukan pembangunan di pulau Jawa. Terlalu
banyak cerita sedih yang terjadi di berbagai pelosok nusantara ini yang
terjadi, bahkan lebih ironis lagi terjadi di daerah yang sumberdaya alamnya
berkontribusi sangat tinggi kepada anggaran Negara ini, misalkan di Papua,
Aceh, Riau, Kalimantan.
Betul, pembagian APBN berbasis jumlah penduduk sangat merugikan Luar Jawa dan menguntungkan Jawa. Untuk memperkuat kebijakan di atas kita disuguhi data Statistik palsu, mereka sebut 70% penduduk Indonesia ada di jawa. Padahal yg benar penduduk pulau jawa hanya 54% penduduk indonesia.
BalasHapusSebenarnya kalo pemerintah berani nggak ekspor minyak mentah, masyarakat juga akan lebih sejahtera. Presiden mendatang harus berani melakukan itu. Juga harus berani menutup kebijakan impor produk yg dpt dihasilkan Indonesia. Masih banyak yg dpt dilakukan lbh serius dlm mengelola negara ini.
BalasHapus