Harian Kompas,
(31/12/12) memberitakan bagaimana kemerosotan harga jual beberapa komoditas
pertanian yang menjadi andalan masyarakat di pasar internasional. Harga minyak
sawit mentah yang pada awal tahun 2012 bertengger pada harga USD 1200 per ton,
merosot ke level USD 900 pada akhir tahun. Demikian juga dengan harga karet
yang pada awalnya USD 4 dolar per kilo gram, merosot menjadi USD 2,9 pada akhir
tahun. Tentu saja dampak ini paling dirasakan oleh petani penghasil kedua komoditas
tersebut, karena petani jarang sekali mempunyai sumber-sumber lain yang dapat
diandalkan. Skala produksi yang kecil
dan cenderung tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja, belum akses petani
terhadap pasar yang rendah, membuat petani karet dan kelapa sawit kelabakan
untuk mendapatkan nilai jual yang mampu menutupi biaya produksi dan mendapatkan
keuntungan yang layak.
Kebijakan
ekspor bahan mentah, dalam bentuk Crude
Palm Oil (CPO) untuk kelapa sawit
dan crumb rubber untuk karet,
sebenarnya harus diubah. Pemerintah
harus menutup ekspor kedua bentuk produk tersebut. Pemerintah harus merancang skenario
nasional dimana yang dapat diekspor hanyalah dalam bentuk yang lebih tinggi
lagi. Bentuk yang dimaksuk adalah produk turunan dari CPO dan crumb rubber,
sehingga nilai tambah produk tetap berada di dalam negeri. Ini pasti buka ide baru, tetapi komitmen
pemerintahlah yang diperlukan dengan membuat kebijakan yang pro masyarakat. Merealisasikan
slogan dan semangat perubahan dari natural-resource
based economy menjadi knowledge based economy. Kebijakan ekstor
dalam bentuk produk turunannya akan membuat petani Indonesia tidak tergantung
pada harga bahan mentah yang berlaku di pasar internasional. Pemerintah membeli
hasil petani dengan harga yang mampu menjamin keberlanjutan produksi di lahan
produksi dan menggunakan hasil yang dibeli dalam industri pengolahan CPO dan crumb rubber untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan
pasar internasional. Sehingga Indonesia
tidak lagi mengimpor produk-produk yang bahan bakunya justru berasal dari
Indonesia sendiri.
Kebijakan
tidak boleh mengekspor CPO dan crumb rubber juga akan mendorong
kegiatan penelitian pengembangan produk, baik yang dilakukan oleh masyarakat
sendiri, oleh industri pengolahan produk, oleh lembaga penelitian pemerintah,
maupun oleh perguruan tinggi. Multiplier
effect-nya tidak hanya secara ekonomis untuk masyarakat banyak, tetapi juga
kinerja penelitian dan pengembangan produk olahan bangsa ini akan meningkat. Kebijakan
ini juga akan meningkatkan produktivitas publikasi ilmiah peneliti Indonesia. Bayangkan kalau kebijkan tersebut diperlakukan
pada banyak komoditi pertanian strategis lainnya, kakao, kopi dan lain-lain. Masyarakat petani terjamin
kesejahteraannya, industri berkembang, lapangan kerja meningkat, perekonomian bangsa meningkat, daya saing
bangsa (secara ekonomis dan secara ilmiah) meningkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar