Kalaupun kita
tidak sering mendengar kata ‘serakah’ atau ‘tamak’, setiap orang pasti
mengenalnya dan bahkan memetik hikmah dari makna yang terkandung di dalamnya. Setiap
orang pasti pernah mendengar seseorang menuduh orang lain sebagai seorang yang
serakah atau tamak. Padahal dapat saja seseorang tersebut tidak punya cukup
pengetahuan untuk memvonis orang lain tersebut. Dengan kata lain, tuduhan yang
dibangun hanya atas dasar asumsi, pengetahuan dan subjektivitas diori
sendiri. Seseorang yang mengekspresikan
tindakan dan keserakahan atau ketamakan tidak hanya dibenci Yang Maha Kuasa,
tetapi juga dibenci oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang yang
terjadi dalam keseharian kita adanya orang bertindak serakah dan tamak, tetapi
tetap saja menuding orang lain yang serakah.
Prilaku demikian sebenarnya tindakan
untuk menutupi keserakahannya dengan cara menyudutkan orang lain sebagai
seseorang yang serakah dengan harapan keserakahannya tidak dilihat menjadi
pusat perhatian orang lain sehingga ia leluasa menyalurkan syahwat
keserakahannya. Meskipun demikian, dapat saja sebenarnya tindakan seperti itu
muncul karena adanya keinginan untuk memastikan agar orang lain tidak merasakan
betapa tidak enaknya menjadi seseorang yang serakah, karena ia tahu persis
menjadi orang yang serkah itu menderita lahir dan bathin.
Banyak contoh
keserakahan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mungkin juga keserakahan tersebut merupakan salah satu naluri kodrati
manusia dalam menjaga survivalitasnya. Tetapi manusia yang bijak tentu mampu
mengendalikan dirinya untuk tidak bertindak serakah. Keserakahan yang paling berbahaya adalah
keserakahan yang diekspresikan dengan cara membuat aturan, lalu mengeksploitasi
sumberdaya yang ada dengan aturan itu untuk kepentingan sendiri, dan dalam
waktu yang bersamaan berteriak tentang keserakahan orang lain, hingga orang
lain mengalami kerugian secara sosial dan psikologis.